Aulia Rahma Soraya
Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Magister Pendidikan Bahasa Arab
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email; 08auliarahmasoraya@gmail.com
Abstrak: Al-Quran adalah sumber utama ajaran Islam serta memiliki autentisitas tak terbantahkan. Penerimaan wahyu oleh Nabi Saw terkait erat dengan kondisi actual. Susunan ayat-ayat dan surat-surat yang terkandung dalam Al-Quran juga tidak sebagaimana susunan yang terdapat dalam buku-buku ilmiah yang “terkesan” lebih sistematis dan kronologis. Sastra yang memuat suatu kisah dewasa ini telah menjadi disiplin seni yang khusus diantara seni-seni lainya dalam bahasa dan kesusasteraan. Tetapi “kisah-kisah nyata” Al-Quran telah membuktikan bahwa redaksi kearaban yang dimuatnya secara jelas menggambarkan kisah-kisah yang paling tinggi. Disamping itu sebagai suatu metode, kisah juga memiliki daya tarik tersendiri, punya daya yang kuat bagi jiwa serta dapat menggugah kesadaran manusia kepada iman dan perbuatan yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Kata Kunci: Kisah, al-Quran, dan Ibadah
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah pedoman pertama bagi umat islam yang terkandung didalamnya firman-firman Allah yang tak terbantahkan hakikatnya. Segala yang dibutuhkan oleh umat islam terdapat didalamnya. Mulai dari hukum agama, pedoman, contoh yang dapat diaplikasikan dalam keseharian kita dan juga cerita pada nabi dan rasul.
Al-Qur’an memang bukan kitab sejarah atau kitab kisah. Akan tetapi didalamnya terdapat banyak kisah untuk dijadikan pelajaran bagi para pembacanya. Al-Qur’an juga sebagai alat untuk memahamkan kepada umat islam tentang Allah dan segala penciptaan serta kasih sayang pada umat-Nya. Tuhan sendiri mengenalkan diri-Nya sebagai Rabb al-âlamîn yang salah satu penafsirannya adalah bahwa Dia seorang pendidik alam. “Mendidik” berarti “mengembangkan potensi-potensi positif peserta didik agar tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya”. Di sisi lain, Allah juga mengenalkan diri-Nya sebagai Pengajar (Mu‟allim). Ini memberi isyarat bahwa sedemikian besar perhatian Tuhan untuk mendidik dan mengajar manusia agar menjadi hamba Allah („abd al-Lâh) yang saleh dan misi kekhalifahan di muka bumi ini dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.
Salah satu cara tuhan memberikan pendidikan dan petunjuk kepada umat-Nya melalui Al-Qur’an adalah dengan menggunakan kisah didalamnya. Demikian pula dengan adanya kisah-kisah dalam Al-Quran. Tidak berarti bahwa Al-Quran sama dengan buku-buku sejarah yang diuraikan secara kronologis dan lengkap dengan analisanya, serta bukan sastra, meskipun didalamnya diungkap dengan menggunakan bahasa yang amat indah, akan tetapi menurut Syayid Kutub pengungkapan kisah-kisah dalam Al-Quran merupakan suatu metode untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai, karena bagaimanapun juga Al-Quran adalah kitab dakwah agama dan kisah-kisah adalah satu metode untuk menyampaikan materinya. Jelasnya bahwa adanya kisah tersebut tidak lain merupakan petunjuk, nasehat dan ibrah bagi manusia. Agar menjadi pelajaran dalam meniti hidup dan kehidupannya (QS. Hud (11) : 120).
Menurut Muhammad Khalafullah, sebab utama yang membuat penafsir terjebak dalam posisi yang sangat fatal dalam menafsirkan ayat-ayat al-qur’an adalah karena kekeliruanmereka menggunakan etodologi. Yakni mempelajari tafsir kisah al-qur’an melalui pendekatan historis. Padahal seharusnya digunakan untuk menangkap pesan dari kisah dengan membacanya sebagai teks sastra yang memiliki keindahan dan keistimewaan.
Sastra yang memuat suatu kisah dewasa ini telah menjadi disiplin seni yang khusus diantara seni-seni lainya dalam bahasa dan kesusasteraan. Tetapi “kisah-kisah nyata” Al-Quran telah membuktikan bahwa redaksi kearaban yang dimuatnya secara jelas menggambarkan kisah-kisah yang paling tinggi. Disamping itu sebagai suatu metode, kisah juga memiliki daya tarik tersendiri, punya daya yang kuat bagi jiwa serta dapat menggugah kesadaran manusia kepada iman dan perbuatan yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Dan merupakan suatu keistimewaan kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Quran, bahwa didalamnya tidak terdapat unsur khayalan atau sesuatu yang tidak pernah jadi (QS. Al-Isra (17) : 105).
Tulisan ini akan memaparkan beberapa kisah dalam A-qur’an dan menghubungkannya dengan sastra, menjelaskan maksud dan tujuan kisah didalam al-qur’an serta menjawab perkembangan sebuah seni kisah.
Kisah-kisah Al-Qur’an dalam Perspektif Sastra
Sebelum saya membahas lebih jauh tentang ini, sebaiknya kita memahami apa itu kisah? Secara sematik kisah berarti cerita, kisah atau hikayat. Dapat pula berarti mencari jejak (QS. Al-Kahfi : 64), menceritakan kebenaran (QS. Al-An’am : 57) menceritakan ulang hal yang tidak mesti terjadi (QS Yusuf: 5) dan berarti pula berita berurutan (QS. Ali Imran : 62).
Sedangkan kisah menurut istilah ialah suatu media untuk menyalurkan tentang kehidupan atau suatu kebahagiaan tertentu dari kehidupan yang mengungkapkan suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa yang satu dengan yang lain saling berkaitan, dan kisah harus memiliki pendahuluan dan bagian akhir. Sedangkan Hasby Ash Shidiqiy mendefinisikan kisah ialah pemberitaan masa lalu tentang umat, serta menerangkan jejak peninggalan kaum masa lalu.
Muhammad Al Majzub dalam Nadzariyat Yahlilliyat fi al Qishas Al-Quran, menurutnya kisah Al-Quran ialah segala jenis dan gayanya merupakan gambaran penjelmaan yang abadi diantara nilai-nilai kebajikan yang ditegakkan dalam kepemimpinan para nabi untuk memperbaiki kebejatan yang dilancarkan tokoh-tokohnya.
Berangkat dari pengertian kisah sastra dalam buku Muhammad Khalalullah mengatakan bahwa menurut ahli retorika (balaghah) terdahulu, namun beliau kesulitan dalam mencari referensi dikarenakan, mayoritas para ahli retorika dan kritikus karya sastra kuno belum menempatkan kisah sebagai karya seni dan sastra.
Instrument ilmu al-bayan (gaya bahasa) seperti teori peluasan makna (al-tawassu’), kesesuaian makna (al-luzum), dan teori analogi (al-tamsil) tidak bisa sepenuhnya dijadikan patokan untuk menjelaskan dan menafsirkan unsur-unsur kisah dan fenomena fenomena sastra dalam sebuah kisah sastra. Tidak adanya perhatian khusus tentang kisah sastra ini dari para ahli sastra maupun kritikus sastra dan juga tidak dijadikan mata kuliah khusus di fakultas sastra dibeberapa universitas. Padahal, dunia akademi sastra telah mengakui bahwa kisah adalah karya sastra yang paling berpengaruh dan sangat melimpah. Meskipun demikian ada beberapa penafsir yang sempat mengupas masalah ini.
Definisi secara etismologi yang diberikan oleh ahli bahasa terhadap kata “qashasha” sangat luas maknanya. Sdangkan menurut Al-Azhari (pakar bahasa Al-Azhar, al-qashash (kisah) adalah mashdar dari kata kerja “qashasha”(mengisahkan). Jadi satu kisah adalah cerita dari suatu kejadian yang sudah diketahui sebelumnya.
Dan pada kitab tafsir mendefinisikan menggunakan etimologi dan pendekatan religious. Yaitu mengaitkan maksud dan tujuan kisah-kisah Al-Qur’an itu sendiri. Salah satu penafsir yang menggunakan pendekatan kedua ini dan sastra sekaligus adalah Al-Razi.
“kami menceritakanmu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan)-nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui” (Qs 12:3). Al-Razi mengatakan demikian karena “qashasha”(kisah-kisah) berarti mengikutinya. Karena makna kisah secara bahasa adalah pengikutan.
Berikut adalah beberapa model kisah al-Qur’an sesuai dengan model-model yang berlaku dalam dunia sastra:
Model sejarah, yaitu suatu kisah yang menceritakan tokoh-tokoh sejarah teretentu seperti para nabi dan rasul dadn beberapa kisah yang diyakini orang-orang terdahulu sebuah realitas sejarah. Contohnya dalam model sejarah ini adalah:
Allah berfirman, “kaum Ad pun telah mendustakan. Maka alangkah dahsyatnya azabKu dan ancaman-ancamanKu. Sesungguhnya kami telah menghembuskan kepada mereka angina yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus, yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok kurma yang tumbang. Maka betapa dahsyatnya azabKu dan ancaman-ancamanKu”. (Qs 54:18-21).
Semua unsur ini oleh al-Qur’an tidak diberi tempat dalam kisah tersebut karenasatu sebab yang sederhana juga. Al-qur’an menceritakan kisah untuk menjadikan pelajaran dan pengalaman bagi manusiadan bukan untuk memperkenalkan satu sejarah.
Model perumpamaan, yaitu kisah-kisah yang menurut orang terdahulu kejadiannya dimaksudkan untuk menerangkan dan menjelaskansuatu hal atau nilai-nilai. Maka, model kisah inipun tidak mengharuskan kisah yang diangkat dari sebuah realitas sejarah dan boleh berupa cerita fiktif dalam bartasan orang terdahulu.
Allah berfirman “sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu, adapun mereka yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka” (Qs 2:32)
Model legenda atau mitos. Yaitu kisah yang diambil dari mitos-mitos yang dikenal dan berlaku dalam sebuah komunitas social. Biasanya tujuan darikisah mitos semacam ini adalah untuk memperkuat satu tujuan pemikiran atau untuk menafsirkan suatu problem pemikiran. Perlu diketahui unsur mitos dalam kisah ini bukan sebagai tujuan kisah, tetapi berfungsi sebagai salah satu instrument kisah yang menarik didengar.
Kisah mitos ini berawal ketika menafsirkan firman Allah “bahkan yang (sebenarnya), mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal bellum datang padanya penjelasan.” (Qs 10:39). Dalam ayat tersebut Al-Razi membedakan antara batang tubung atau materi kisah di satu sisi, dan esensi kisah yang berwujud petunjuk-petunjuk keagamaan seperti ajaran dan prinsip-perinsip agama islam disisi lain. Beliau juga menegaskan bahwa “jasad” materi kisah itulah yang menimbulkan keraguan akal orang-orang musyrik. Karena mereka mengira, “jasad” itulah yang dimaksud untuk diberitahukan pada mereka. Bertolak dari keyakinan tersebut, maka mereka jatuh pada kesimpulan bahwa Al-qur’an adalah kitab mitos atau dongeng orang-orang terdahulu. Hal ini menunjukan bahwa Al-Razi menegaskan bahwa maksud kisah adalah untuk menyampaikan hal-hal diluar “jasad” kisah.
Sedangkan menurut Ahmad Jamal al Umry, bahwa kisah dalam Al-Quran terdiri atas:
1. Ki`sah Waqiyyat: yang mengungkapkan gejala-gejala kejiwaan manusia seperti kisah dua putra Nabi Adam (QS. Al Maidah (5) : 27 – 30).
2. Kisah Tamsiliyyat: yang tidak menggambarkan kejadian yang sebenarnya akan tetapi kejadian tersebut mungkin terjadi pada waktu yang lain seperti kisah Ashbab al Jannatain yang telah digambarkan kejadian dan peristiwanya dalam Surat al Kahfi.
3. Kisah Tarrikhiyat: yang mengungkap tentang tempat, peristiwa dan orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Seperti kisah para nabi, kisah orang-orang yang mendustakan nabi, kisah fir’aun, bani Israil dan lain-lain.
Di antara tujuan kisah Qur‟an ialah merealisasikan yang berkaitan dengan tujuan-tujuan keagamaan (aghrâdl al-dîn) terutama menyangkut fungsi manusia hidup di dunia baik sebagai hamba Allah („abd al-Lâh) maupun sebagai wakil Tuhan (khalîfah al-Lâh), karena Qur‟an merupakan wahyu Allah yang menjadi kitab petunjuk dan pedoman bagi umat manusia.
Melalui metode kisah, pesan-pesan pendidikan dan dakwah Islamiyah lebih mudah dicerna, menarik dan dapat menggugah hati pendengar atau pembacanya. Dalam kategori yang lebih besar tujuan kisah menjadi tiga, yaitu:
1. Tujuan informatif, yakni memberi informasi tentang keberadaan kisah yang diceritakan menyangkut tokoh, tempat atau peristiwa yang terjadi. Misalnya bagaimana kisah tokoh Ashâb al-Kahfi, kisah kota „Irâm, peristiwa hancurnya kaum Sodom dan Amoro (kaum Nabi Luth), dan sebagainya.
2. Tujuan justifikatif-korektif, yakni membenarkan kisah-kisah yang pernah diceritakan dalam kitab-kitab sebelumnya, seperti Taurat dan Injil, sekaligus mengoreksi kesalahannya. Misalnya, koreksi al-Qur‟an terhadap posisi Nabi Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan oleh kaum Nasrani, dan juga Uzair yang dianggap anak Tuhan oleh kaum Yahudi.
3. Tujuan edukatif, yakni bahwa kisah-kisah al-Qur’an membawa pesan-pesan moral dan nilai-nilai pendidikan yang sangat berguna bagi pembaca dan pendengar kisah tersebut untuk dijadikan „ibrah (pelajaran) dalam kehidupan manusia. Terlebih kalau kita sepakat dengan teori Cicero dalam filsafat sejarah bahwa peristiwa sejarah itu akan berulang, hanya aktornya yang berbeda. Ini hemat penulis sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur‟an:
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim.
Sementara itu, Sayyid Quthub juga menjelaskan tujuan kisah al-Qur’an adalah:
1. Untuk menegaskan bahwa Qur‟an merupakan wahyu Allah dan Muhammad benar-benar utusan-Nya yang dalam keadaan tidak mengerti baca dan tulis, namun bisa menceritakan kisahkisah terdahulu.
2. Untuk menerangkan bahwa semua agama yang dibawa para rasul dan nabi semenjak Nabi Nuh sampai Nabi Muhammad bersumber dari Allah dan semua orang mukmin adalah umat yang satu, dan Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan semua umat (Qs. al-Anbiyâ‟ [21]:48 dan 92). Dasar agama yang bersumber dari Allah, sama-sama memiliki prinsip yang sama. Oleh karena itu, pengulangan dasar-dasar kepercayaan selalu diulang-ulang, yaitu mengungkapkan keimanan terhadap Allah Yang Maha Esa (Qs. al-A„râf [7]:59, 65, dan 73). Ini berarti bahwa misi para nabi itu dalam berdakwah sama dan sambutan dari kaumnya hampir sama juga, dan agama yang dibawa pun dari sumber yang sama yakni dari Allah (Qs. Hûd [11]:25, 50, 60, dan 62). Antara agama Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim khususnya dan dengan agama Bani Israil pada umumnya terdapat kesamaan dasar serta memiliki kaitan yang kuat.
Kisah al-Qur‟an memiliki unsur yang pada umumnya mencakup sebagai berikut:
pertama, al-ahdâts (peristiwa). Peristiwa tidak selamanya diceritakan sekaligus, tetapi secara bertahap atau pengulangan sesuai dengan kronologis peristiwa dan sesuai pula titik tekan tujuan dari kisah. Kisah al-Qur‟an merupakan gambaran realitas dan logis bukan kisah fiktif. Meskipun demikian, kisah al-Qur‟an bisa memberi makna imajinatif, kesejukan, kehalusan budi, renungan, pemikiran, kesadaran, dan pengajaran. Kesadaran dan pengajaran (ibrah) ini sebagai wujud derajat takwa dan takwa sebagai wujud martabat yang paling mulia dalam ibadah.
Kedua, al-asykhâsy (tokoh-tokoh). Dalam al-Qur‟an, tokoh dan aktor tersebut bisa berupa para nabi dan rasul, hamba saleh, jin/iblis, setan, bahkan hewan. Aktor atau tokoh kadang tidak dimaksudkan sebagai titik sentral dan bukan pula tujuan dalam kisah. Itulah mengapa sang tokoh kadangkadang tidak disebutkan
Ketiga, al-hiwâr (dialog). Biasanya dialog yang berlangsung dengan bentuk kalimat langsung sehingga seolah pembaca kisah tersebut menyaksikan sendiri jalannya kisah tersebut.
Ketiga unsur tersebut hampir selalu terdapat dalam seluruh kisah al-Qur’an. Hanya saja peranan ketiga unsur tidaklah sama sehingga kadang salah satunya saja yang ditonjolkan, sementara yang lain menghilang. Jika pada kisah yang dimaksudkan untuk warning menakut-nakuti, maka yang ditonjolkan peristiwanya, seperi kisah kaum Tsamûd dengan Nabi Saleh dalam Qs. al-Syams dan al-Qamar. Jika, kisah yang dimaksudkan untuk memberi kekuatan moral dan keteguhan hati Nabi Muhammad dan para pengikutnya, maka yang ditonjolkan adalah pelakunya. Sementara itu, jika yang ditonjolkan adalah untuk mempertahankan dakwah dan membantah para penentangnya, maka yang ditonjolkan adalah unsur dialognya.
Adapun macam-macam kisah dalam al-Qur’an berdasarkan tokohnya bisa dikategorikan sebagai yang berikut:
pertama, kisah para rasul dan nabi menyangkut dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang terjadi serta sikap para penentang, dan akibat-akibat yang diterima oleh para penentangnya.
Kedua, kisah-kisah yang berkaitan dengan umat umat terdahulu yang tidak dapat dipastikan kenabiannya, seperti kisah Thâlut, Jâlût, dua putra Adam, Ashâb al-Kahfi, Zulqarnain, Luqmân al-Hakim, dan sebagainya.
Ketiga, kisah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di zaman Nabi seperti perang Badar, Uhud dan Hunain dan sebagainya.
Menurut Muhammad Khalafullah, tokoh-tokoh yang kita maksudkan dalam wacana kisah sastra bukanlah tokoh-tokoh yang berwujud manusia saja, akan tetapi lebih luas dan umum. Artinya, tokoh-tokoh kisah adalah para pemeran utama dimana semua pembicaraan, peristiwa, dan pemikiran hal-hal yang terjadi dalam kisah dan berputar pada dirinya. Bila demikian halnya, maka tokoh-tokoh dalam kisah Al-Quran adalah para malaikat, jin, dan berbagai jenis hewan seperti burung dan hewan melata, baru tokoh manusia baik laki-laki maupun perempuan.
Burung Dan Hewan Melata.
Kisah Nabi Sulaiman dalam surat Al-Naml. Dimana semut menjadi pemeran utama layaknya manusia. Kejadian itu dikisahkan ketika seekor semut memperingatkan pasukannya untuk berhati-hati ketika masuk kedalam rumah semut agar tidak terinjak oleh Nabi Sulaiman.
Dan kisah burung hud-hud yang mengetahui keadaan Ratu Balqis dan rakyatnya yang belum diketahui oleh Nabi Sulaiman. Kisah burung ababil yang sudah masyhur kita ketahui.
Makhluk Halus
Malaikat menduduki kriteria yang satu ini, dimana malaikat menjelma menjadi manusia sehingga menjadi peran dalam kisah Ibrahim, Luth dan juga dalam kisah Zakaria dan Maryam.
Manusia Laki-Laki
Ada banyak sekali kisah yang menceritakan tentang manusia laki-laki. Mulai dari Nabi dan Rasul. Hingga kisah manusia biasa, serta Raja dan para menteri.
Memang ada beberapa teks kalimat yang ada dalam Al-Quran menjelaskan tentang bentuk badan seperti pada Qs: 20:27 yang artinya “ dan lepaskanlah kekakuan dalam lidahku”
Di dalam kitab suci Al-Quran banyak kisah yang disebutkan berulang-ulang bahkan sampai beberapa puluh kali. Ada satu kisah yang disebutkan sampai 126 kali, seperti kisah Nabi Musa, kisah Nabi Adam disebutkan dalam surat Al-Baqarah, Ali Imran, al Maidah dan lain-lain. Kisah Nabi Ismail disebutkan sampai 12 kali, Nabi Dawud disebutkan 16 kali, Nabi Ishaq disebut 17 kali, Nabi Luth disebutkan 27 kali, nabi Ibrahim disebut 99 kali dan nabi Musa 126 kali.
Tokoh-Tokoh Wanita
Jika ada kisah yang menjadikan laki-laki sebagai perannya, maka tokoh-tokoh wanita pun pasti ada didalamnya. Para istri nabi contohnya. Lukisan karakteristik tokoh wanita dalam kisah Al-qur’an memiliki persamaan perlakuan dengan tokoh laki-laki. Titik persamaannya adalah kedua tokoh ini tidak dijelaskan dengan sempurna bentuk tubuh seperti tinggi pendek, kekar ataupun gemuk. Namun perbedaaan mendasar dalam alqur’an menyembunyikan nama tokoh wanita.
Pendidikan Melalui Kisah dalam Al-Quran Sebagai Metode Pembelajaran Kajian mengenai nilai-nilai edukatif yang terkandung oleh kisah-kisah dalam Al-Quran merupakan studi terhadap sumber ajaran Islam yang mengaitkan antara daya tarik pesona kisah Al-Quran, ajaran dasar Islam, asas dan tujuan pendidikan Islam, serta esensi pendidikan nilai baik menyangkut norma, maupun internalisasinya yang melekat pada jiwa manusiadan institusi masyarakat.
Kisah mempunyai pengaruh yang besar dalam pendidikan sikap dan ideologi. Oleh karenanya logis apabila para filosof memakai kisah untuk mengemukakan pokok pikiran mereka. Kisah juga merupakan alat esensial dalam mewariskan pemikiran umat manusia sejak dahulu sampai sekarang.
Pada dasarnya tujuan pokok dari kisah-kisah dalam Al-Quran menurut Ismail Lubis adalah untuk menanamkan makna yang terkandung ke hati sehingga terwujud dalam perilaku nyaa adalah tidak mengherankan apabila kemudian muncul perubahan sikap dalam diri orang yang membaca atau mendengarnya. Sedangkan menurut Khallafullah dalam al Fann al Qassasi fi Al-Quran, diantara tujuan-tujuan pengungkapan kisah dalam Al-Quran adalah untuk menjelaskan kebenaran dan bahaya kesesatan yang ditimbulkan oleh iblis yang menjadi musuh manusia. Membentuk perasaan yang kuat dan jujur terhadap akidah Islam serta prinsip-prinsipnya ke arah pengorbanan jiwa untuk mewujudkan kebaikan dan kebenaran. Selain tujuan dari kisah-kisah tersebut, Ismail Lubis menambahkan bahwa menurut tinjauan pendidikan kisah mempunyai banyak faedah diantaranya:
Di dalam Al-Quran banyak kisah yang diungkapkan secara berulang-ulang di tempat dan dalam bentuk yang berbeda-beda, baik dengan penjelasan yang ringkas maupun panjang lebar. Sebagai contoh, pengungkapan kisah Nabi Musa dalam Surat Yunus, kemudian dalam Surat al-A’raf disebutkan tentang kedatangan nabi Musa kepada Fir’aun, mukjizat yang diberikan pada Nabi Musa. Kemudian penyiksaan Fir’aun kepada Bani Israil, sehingga mereka keluar dari Mesir, dan lain-lain yang secara panjang lebar terdapat dalam surat al-A’raf tersebut. Selanjutnya dalam surat Thaha diceritakan pula tentang Nabi Musa melihat api di bukit Tursina, dan setelah Nabi Musa diperintah untuk menghadap Fir’aun, beliau minta bantuan pada Nabi Harun. Kemudian diceritakan pula tentang masa kecil Nabi Musa, dan lain-lain. Tentang kisah nabi Musa masih diungkapkan pula dalam surat al-Syu’ara, surat al-Qashash, surat Al-Isra’, surat al-Baqarah dan sebagainya. Pengulangan kisah-kisah tersebut, tersirat beberapa hikmah, sebagaimana kenyataan bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu secara sia-sia. Adapun hikmah adanya pengulangan kisah-kisah dalam Al-Quran adalah sebagai beirkut:
1. Menjelaskan kebalaghahan Al-Quran dalam tingkatan yang tertinggi. Dan diantara keistimewaan balaghah ialah menuangkan sebuah makna dalam berbagai macam susunan yang berbeda. Dan tiap-tiap tempat disebutkan dengan gaya bahasa yang berbeda dari yang telah disebutkan.
2. Menampakkan kekuatan i’jaz. Menyebut suatu makna dalam berbagai bentuk susunan perkataan yang tidak dapat ditantang oleh sastrawan Arab. Merupakan tantangan hebat dan sebagai bukti bahwa Al-Quran datangnya dari Allah SWT.
3. Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut untuk lebih memantapkan dalam jiwa. Karena pengulangan merupakan salah satu cara ta’kid dan tanda besarnya perhatian.
4. Perbedaan tujuan yang ingin dicapai dengan pengungkapan kisah tersebut, sehingga sebagian dari maknanya diterangkan di satu tempat karena hanya itulah yang diperlukan, sedang makna lainnya .
Kesimpulan
Sebagai umat muslim, al-qur’an adalah patokan utama dalam segala aspek kehidupan. Mulai dari keilmuan, hokum, kesehatan dan juga menguat iman taqwa kita kepada Allah. Didalamnya terdapata kisah yang ditata secara unik untuk dikaji dan diaplikasikan dalam keseharian untuk menjadikannya pelajaran dalam hidup. Baik dilihat dari sifat tokohnya maupun keadaan sosialnya.
Kisah yang terdapat dalam alqur’an ini berbeda dengan kisah ataupun dongeng untuk anak-anak. Didalamnya ada majaz dan setiap kisah tidak dikisahkan secara sempurnya ataupun utuh. Akan demikian, kita tetap dapat memahami isi dan tujuan dari kisah tersebut setelah mempelajarinya lebih dalam.
Buku Muhammad A. Khalafullah dengan judul Al-qur’an bukan kitab sejarah ini mengupas tuntas kisah-kisah dalam alaqur’an dari berbagai aspek yang layak dibaca dan dipelajari oleh akademisi untuk menambah keilmuan dan keimanan kita bersama.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Ahmad Wasun Munawir, Almunawir kamus Arab Indonesia, Jogja: Almunawir, 1984
Ahmad Jamal al Umry, Dirasat fi Al-Quran wa al sunnat, Dar alma’arif, Kairo, cet. I 1982
Al-Tuhâmi Naqrah, Sikulujiyah al-Qishshah fî al-Qur‟ân (Tunis: al- Syirkah al-Tunisyah, t.t.)
Al-Qaththân, Mabâhits…, 306.
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000
Hasbi Ash Shidiqie, Ilmu-ilmu Al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1972
Ismail Lubis, Kisah dan Pendidikan, dalam jurnal al Jamiah No. 43 th. 1990, Yogyakarta IAIN Sunan Kalijaga 1990
Muhammad al Majzub, Nudhoriyat Yahliliyat fi al-Qishas Al-Quran, Beirut: Madrasah arrisalah, 1971
Muhammad Al Majzub, Nadharatun Tahlillah Fi Al-Qissah Al-Quran iyah. Madinah, ttp, 1991
Manna’ Khalil Al Qaththan, Mabahis fi ulum Al-Quran, Mata his fi ulum Al-Quran, Dinamika Utama, Jakarta, tt
Maragustam Mengutip pendapat M. Kamil hasan dalam Jurnal Pendidikan vol. I No. 2 edisi Agustus 2003
Khalafulloh, Al Fann al Qassasi fi Al-Quran al Karim, Kairo: An Nahdhoh al Musriyah, 1957, hlm. 209
Khalafullah, Muhammad. Al-Qur’an bukan Kitab Sejarah. Paramadina Jakarta 2002
Sayyid Quthub, al-Tashwîr al-Fanni fî al-Qur‟ân (Beirut: Dâr al-Ma„ârif, 1975).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar